JAKARTA, iNews.id - Tradisi kue bulan ini merupakan tradisi ritual masyarakat Tiongkok kuno. Tradisi tersebut populer ketika masa Dinasti Tang dan pertama kali muncul pada masa Dinasti Xia dan Dinasti Shang.
Festival Perayaan Musim Gugur (Zhong Qiu Jie) atau yang lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan Festival Kue Bulan. Festival tersebut merupakan perayaan kegembiraan keluarga yang dilambangkan dengan hadirnya bulan purnama.
Festival Kue Bulan ini berlangsung pada tanggal 15 bulan ke-8 sesuai kalender lunar Tiongkok (Imlek).
Biasanya saat itu adalah waktu berkumpul bersama keluarga. Latar belakang tradisi ini dari pertanian Tiongkok yang di mana petani memohon kepada Dewa Bumi untuk diberita musim yang baik.
Di penghujung musim panen yang jatuh sekitar pertengahan bulan ke-8 (Imlek), para petani mengadakan ritual pemujaan kepada para Dewa yang telah memberikan hasil panen yang melimpah sebagai rasa syukur dan terima kasih.
Festival ini merupakan perayaan terbesar ke-2 setelah Imlek. Sebab, posisi bulan akan berada paling dekat dengan bumi..Hal tersebut juga melambangkan bersatunya pria (matahari) dengan wanita (bulan), layaknya dalam filosofi tradisi China Yin dan Yang.
Asal Usul Festival Perayaan Musim Gugur
Legenda mengenai asal usul tradisi ini tentang seorang pemanah bernama Hou Yi. Zaman dahulu, terdapat 10 matahari di langit yang menyebabkan bumi menjadi kering sehingga rakyat hidup menderita.
Lalu, Hou Yi pergi ke Gunung Kun Lun untuk memanah 9 buah matahari hingga jatuh dan hanya tersisa 1 matahari.
Semenjak saat itu, Hou Yi dianggap sebagai pahlawan. Suatu hari, Hou Yi bertemu dengan Ratu Xi Wang Mu lalu diberikan hadiah berupa ramuan keabadian yang bisa naik ke langit dan menjadi Dewa.
Kemudian, Hou Yi meminta kepada sang istri untuk menyimpan ramuan tersebut. Sayangnya, Feng Meng anak buah Hou Yi telah mengetahui tentang ramuan tersebut dan berniat untuk mencurinya. Feng Meng akhirnya menyusup ke kamar Chang’E dan memaksanya untuk menyerahkan ramuan tersebut.
Karena Chang’E berfikir tidak mampu melawan Feng Meng, Chang’E pun akhirnya memakan ramuan tersebut sambil melarikan diri.
Tidak lama kemudian, Chang’E merasa bahwa tubuhnya menjadi ringan dan mulai terbang ke atas. Chang'e juga merasa dirinya mendarat di bulan yang berdekatan dengan bumi.
Ketika Hou Yi pulang dan mengetahui apa yang terjadi membuat ia sangat sedih. Akhirnya, ia membangun sebuah altar di kebun milik Chang’E untung mengenang istrinya. Dia juga meletakkan beberapa makanan kesukaan Chang'e sebagai persembahan kepada sang istri di bulan.
Konon katanya, kecantikan Chang’E akan terlihat jelas dari bumi saat bulan dalam keadaan penuh dan terang.
Makna Festival Kue Bulan di Masa Kini
Festival kue bulan bulan dimaknai sebagai perayaan kebersamaan dan acara kuliner yang menarik. Kue bulan ini dibagikan kepada keluarga, teman, dan kerabat untuk mempererat tali silaturahmi.
Di Indonesia, biasanya kue bulan dikenal dalam dialek Hokkian, yaitu Gwee Pia atau Tiong Ciu Pia. Sementara, dalam dialek Hakka/Khek kue bulan disebut Ngiet-Piang.
Bahkan, beberapa restoran, hotel, dan toko kue menjual kue bulan saat Festival Musim Gugur tiba. Sebagian bentuknya pun masih khas bulan tradisional yang melmabangkan keutuhan keluarga.
Selain itu, Dewi Bulan sudah tidak lagi dianggap sebagai dewi keberuntungan yang bisa mendatangkan hasil panen berlimpah. Melainkan, sekarang orang Tionghoa menganggap Dewi Bulan sebagai Dewi Cinta.
Konon jika sepasang kekasih memuja Dewi Bulan di malam hari, mereka akan dikaruniai pasangan yang romantis, langgeng, dan tak terpisahkan.
Itulah tradisi kue bulan yang berawal dari masyarakat Tiongkok sebagai bentuk persembahan kepada Dewi Bulan.
Editor : Nur Ichsan Yuniarto
Artikel Terkait