get app
inews
Aa Text
Read Next : Gempa Bumi Magnitudo 4,3 Guncang Pasaman Barat

Peringatan HMKG Ke-77, BMKG Gencarkan Operasi Modifikasi Cuaca di Langit Indonesia

Senin, 22 Juli 2024 - 07:13:00 WIB
Peringatan HMKG Ke-77, BMKG Gencarkan Operasi Modifikasi Cuaca di Langit Indonesia
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati beri keterangan saat peringatan HMKG Ke-77. (Foto: BMKG)

JAKARTA, iNews.id - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggencarkan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) untuk mengisi kubah air di lahan gambut yang menjadi sumber utama kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Sasarannya di wilayah paling rentan karhutla seperti Pulau Kaliman dan Sumatra.

OMC ini digencarkan sekaligus dalam peringatan puncak Hari Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (HMKG) ke-77 yang jatuh pada Minggu (21/7/2024). Mengambil tema ‘BMKG Dukung Nusantara Baru Untuk Indonesia Maju', BMKG telah melakukan kerja-kerja OMC di langit Indonesia, khususnya wilayah Sumatra dan Kalimantan sejak beberapa bulan lalu. 

Berdasarkan Perpres Nomor 12 Tahun 2024, BMKG telah diamanatkan memiliki Kedeputian Modifikasi Cuaca yang punya tugas utama menyelenggarakan koordinasi, perumusan, pelaksanaan kebijakan umum dan teknis di bidang modifikasi cuaca. Hadirnya kedeputian baru ini akan lebih mengintensifkan OMC di masa yang akan datang. 

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, saat ini telah terjadi perubahan paradigma pemanfaatan OMC di Indonesia dan membuktikan implementasi yang dilakukan berjalan efektif. Sejak tahun 2015, OMC dilakukan untuk upaya mitigasi bencana dan bukan lagi digunakan dalam penanganan karhutla saja, namun juga pencegahan.

“Caranya dengan melakukan pengisian kubah air gambut. Berdasarkan data Pemantau Air Lahan Gambut (SIPALAGA) ambang batas ketinggian air dalam tanah lahan gambut tidak boleh di bawah 40 cm yang menandakan status rawan kebakaran,” ujar Dwikorita di Jakarta, Minggu (21/7/2024). 

Lebih lanjut, OMC yang dilakukan pada masa transisi musim hujan ke musim kemarau, terlihat dengan jelas perbandingan efektivitasnya. Hotspot yang dipadamkan dengan hujan hasil OMC lebih efektif jika dibandingkan dengan upaya water bombing dan terrestrial dalam mengatasi karhutla.

"Saat ini pemerintah memang memfokuskan OMC untuk menanggulangi karhutla di Sumatra dan Kalimantan," katanya.

Adapun waktu pada musim transisi hujan ke musim kemarau sengaja dipilih karena pada dasarnya OMC sangat bergantung pada keberadaan awan hujan. Jika OMC baru dilakukan pada musim kemarau atau pada saat karhutla sudah terjadi, akan sulit melakukan OMC karena biasanya keberadaan awan sulit ditemukan. 

Sebab itu air hujan yang berhasil diturunkan pada musim transisi diupayakan untuk disimpan ke dalam kubah gambut dengan mengisi embung-embung di daerah rawan karhutla. Nantinya, jika musim kemarau dan karhutla terjadi, cadangan air ini juga bisa digunakan tim Manggala yang bekerja secara terrestrial. 

Dwikorita menjelaskan, efektivitas pembasahan lahan gambut dalam memitigasi karhutla sudah terbukti. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, telah terjadi keterlambatan lonjakan hotspot (titik panas) di Sumatra dan Kalimantan. 

Sebagai contoh, pada tahun 2014-2015 Provinsi Riau yang menjadi daerah rawan karhutla engalami kenaikan hotspot pada Februari-Maret dan mencapai puncaknya pada Juli, Agustus dan September. Namun seiring dengan masifnya OMC pada musim transisi kemarau, pada tahun 2019, puncak hotspot di Riau baru terjadi pada September dengan jumlah titik yang melandai. 

Diketahui, Provinsi Riau menjadi salah satu lokasi rawan karhutla dari tahun ke tahun dan masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan luas area lahan karhutla terbesar. Pada tahun 2009, luasan lahan yang terbakar di Riau adalah 120,504 hektare, 183,809 hektare pada 2015, 90,550 hektare pada 2019, dan menurun signifikan pada 2023 yaitu 7,267 hektare. 

“Hotspot di Provinsi Riau berkurang 93,9 persen pada tahun 2023 jika dibandingkan tahun 2019,” kata Dwikorita. 

Penurunan jumlah hotspot juga terjadi di Kalimantan. Kenaikan hotspot yang biasa terjadi pada Agustus kini melambat menjadi September bahkan Oktober. Sebagai contoh, Kalimantan Tengah pada 2009 luasan area yang terbakar yaitu 247,942 hektare, 583,833 hektare pada 2015, menurun menjadi 317,749 hektare pada 2019, dan 165,896 hektare pada 2023.

Penurunan ini sangat signifikan di tengah kondisi Indonesia yang dilanda El Nino pada 2019 dan 2023 yang menyebabkan kemarau lebih kering dan panjang dari biasanya. 

“Ini mengindikasikan OMC berhasil menekan laju kenaikan hotspot pada dua pulau langganan karhutla. Adanya delay lonjakan hotspot mengindikasikan periode kekeringan yang berhasil dipersingkat,” ujarnya. 

Dengan demikian, Dwikorita melihat periode kekeringan yang menjadi sumber pemicu tingginya lonjakan hotspot berhasil dipersingkat karena pada saat periode transisi ke musim kemarau, gambut sudah lebih basah. Air-air yang berhasil disimpan pada kubah gambut juga bisa digunakan untuk water bombing bilamana terjadi karhutla.

Hal yang paling penting dengan basahnya lahan gambut, kemungkinan besar oknum masyarakat yang melakukan pembakaran secara illegal pun akan kesulitan karena gambut dalam kondisi basah. 

Sementara itu, Plt Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto menjelaskan, area karhutla di Indonesia pada tahun 2023 menurun hingga 29,6 persen jika dibandingkan 2019 serta emisi karbon yang berhasil diturunkan akibat kebakaran hutan pada tahun 2023 mencapai 70,7 persen dibandingkan tahun 2019. 

Lebih lanjut, Seto menjelaskan gambut yang terbakar tidak hanya di permukaan saja namun hingga ke dalam. Sehingga ketika gambut terbakar semakin dalam, asapnya akan semakin pekat dan menimbulkan emisi karbon yang banyak dan memiliki dampak besar seperti mempercepat laju perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan memperburuk kesehatan manusia. 

“Tetapi paling tidak kalau gambutnya dibasahi maka eskalasi kebakaran mampu dikurangi intensitasnya dan emisi karbonnya pun jauh lebih berkurang dibandingkan tahun 2019, ini tentu sangat berkontribusi positif untuk upaya komitmen pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim bahwa kita mengurangi emisi karbon,” kata Seto. 

“Selama kegiatan OMC berlangsung penyemaian awan dilakukan pada daerah yang berpotensi menyebabkan hujan di area pembangunan infrastruktur penunjang IKN. Penyemaian awan diprioritaskan pada daerah upwind dengan tujuan awan hujan tidak masuk ke daerah target,” ucapnya lagi.

Kini, pada peringatan puncak HMKG, BMKG berharap OMC ke depan akan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat. Terpenting, kerja sama antarstakeholder dengan berbagai pihak harus terus digencarkan agar OMC memiliki nilai manfaat yang lebih baik ke depannya. 

Editor: Donald Karouw

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut