Profil Rubini Natawisastra, Dokter Asal Bandung yang Mengabdi di Kalbar dan Kini Jadi Pahlawan Nasional

JAKARTA, iNews.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan gelar pahlawan nasional dr Raden Rubini Natawisastra. Dokter Rubini layak menyandang gelar pahlawan nasional atas jasa-jasanya.
Dokter Rubini merupakan salah satu cendekiawan atau kaum intelektual awal di Kalimantan Barat (Kalbar) sebelum kemerdekaan RI.
Pria kelahiran Bandung, Jawa Barat pada 31 Agustus 1906, silam ini merupakan dokter lulusan STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Kedokteran Bumiputra.
Menurut buku biografi yang ditulis Muhammad Rikaz Prabowo, dr Rubini juga salah satu dari beberapa dokter lulusan dan atau Nederlands Indische Artsen School (NIAS).
Usai lulus dari STOVIA pada tahun 1930, Rubini menjadi dokter di Jakarta. Kemudian empat tahun kemudian atau tahun 1934, dr Rubini dipindahkan ke Pontianak. Di sana dia bertugas sebagai Kepala Kesehatan Pontianak.
Rubini jatuh hati dengan Pontianak. Bahkan, dia memilih menetap di kota itu. Sebagai dokter, Rubini sangat memperdulikan kesehatan masyarakat Kalimantan Barat. Dia sering melakukan pengobatan dengan mengunjungi perdesaan dan pedalaman.
Rubini juga menjadi salah satu tokoh yang berusaha meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan terhadap ibu dan anak.
Salah satu keinginannya saat itu yakni menurunkan angka kematian ibu dan anak saat melahirkan. Hal ini dulunya kerap terjadi di praktik bidan tradisional atau dukun beranak.
Di Pontianak, Rubini membuka praktek kedokteran umum di rumahnya daerah Landraad Weg yang kini menjadi Jalan Jenderal Urip Pontianak, Rubini juga membuka praktek kebidanan yang menghadirkan bidan bersertifikat.
Rubini juga dikenal sebagai dokter yang rendah hati. Bagaimana tidak, pasien yang tidak mampu bisa membayar dengan hasil bumi. Bahkan, dia menggratiskan biaya pengobatannya.
Secara periodik Rubini menjadi dokter keliling. Dia mengunjungi desa-desa di luar Pontianak dengan kapal atau perahu agar dapat menjangkau daerah terdalam.
Itulah mengapa nama Rubini cukup melekat di hati masyarakat pedesaan di luar Pontianak, yang kini berada di sekitar wilayah Kubu Raya dan Mempawah.
Dokter Rubini mempunyai istri yang bernama Amalia Rubini. Pasangan ini dikaruniai lima orang putri yang bernama Rubinneta, Aminetty, Marlina, Martini, dan Maryetty.
Usaha kemanusiaan Rubini mendapat dukungan dari sang istri. Maklum, Amalia saat itu tergabung dalam gerakan Palang Merah. Amalia Rubini juga berinteraksi dengan perkumpulan istri dokter di Pontianak untuk berbagi informasi.
Selain menjadi dokter, Rubini juga aktif mendukung perjuangan kemerdekaan melalui jalur politik. Pada tahun 1939, Rubini tergabung dalam pergerakan kebangsaan lewat Partai Indonesia Raya (Parindra) di Kalbar.
Bahkan, kabarnya Rubini masuk dalam jajaran petinggi Parindra Kalbar. Selama era penjajahan Jepang, aktivitas politik Rubini juga tidak berhenti. Dia turut menjadi tokoh pelopor gerakan bawah tanah untuk melawan tentara pendudukan Jepang di Kalbar.
Pada tahun 1940-an, pemerintah kolonial mengadakan evakuasi terhadap pejabat-pejabat Belanda ke Jawa. Hal ini terjadi karena terjadinya Perang Pasifik serta menjelang kedatangan tentara Jepang.
Saat dilakukan evakuasi, tokoh-tokoh pribumi seperti Rubini ikut diajak. Namun Rubini menolak karena kecintaannya kepada Kalbar.
Ternyata, evakuasi pejabat Belanda ke Jawa itu berimbas terhadap pelayanan kesehatan di Kalbar. Keadaan semakin sulit karena kekurangan tenaga kesehatan setelah dokter-dokter Belanda dievakuasi dari Kalimantan.
Terlebih, Kota Pontianak sudah mulai dijatuhi bom oleh Jepang yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Pemerintah kolonial yang semakin terdesak kemudian mengangkat Rubini sebagai perwira kesehatan cadangan.
Dia mempunyai pangkat Letnan Dua. Tugasnya mengurusi rumah sakit militer yang ditinggalkan dokter-dokter Belanda. Bersama dokter-dokter pribumi lainnya yang menolak dievakuasi, Rubini merawat para pasien korban pemboman Jepang.
Sekitar bulan Februari 1942, Jepang yang telah berkuasa di Indonesia membubarkan seluruh organisasi dan kegiatan politik, termasuk Parindra. Meski begitu, Rubini berpura-pura bekerja sama dengan Jepang agar kegiatan-kegiatan politik yang berjalan secara sembunyi tidak terbongkar.
Dia dan para aktivis kemudian mendirikan organisasi Nissinkwai yang seolah-olah mendukung Jepang. Namun, Rubini mulai menerima laporan-laporan kejahatan Jepang terhadap rakyat.
Salah satunya, kejahatan kepada kaum perempuan . Banyak perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Hal ini lah yang membuat Rubini bertekad untuk melawan penindasan Jepang.
Jepang kemudian menilai pergerakan aktivis di Nissinkwai sebagai bentuk ancaman. Organisasi itu kemudian dibubarkan.
Para aktivisnya bergabung di Pemuda Muhammadiyah agar dapat berdiskusi membicarakan langkah perjuangan dalam selubung kegiatan keagamaan.
Awal tahun 1943, Rubini menerima dr Susilo dan Makaliwey yang datang dari Banjarmasin. Mereka menyampaikan jika di Banjarmasin akan ada gerakan melawan Jepang dan meminta Pontianak turut serta.
Rubini pun mulai mengadakan konsolidasi aktivis dan sejumlah tokoh kesultanan untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang yang rencananya pada Desember 1943.
Menurut laporan Jepang, Rubini yang dianggap sebagai pemimpin gerakan itu membentuk pasukan bersenjata yang bernama "Soeka Rela".
Nahasnya, rencana aksi ini diketahui Jepang karena adanya sejumlah orang yang berkhianat sebagai mata-mata Jepang. Selain itu kegagalan aksi di Banjarmasin juga menyeret sejumlah nama di Pontianak, termasuk Rubini dan rekan-rekannya.
Mulai bulan Oktober 1943, aksi-aksi penangkapan terhadap para tokoh yang dianggap terlibat atau berbahaya bagi Jepang diciduk dan kemudian banyak yang dieksekusi di Mandor.
Koran Borneo Sinbun 1 Juli 1944 memberitakan bahwa Jepang telah mengeksekusi orang-orang yang terlibat dalam komplotan perlawanan. Sebanyak 48 di antaranya dianggap sebagai pemimpin perlawanan, termasuk Rubini dan istrinya, Amalia Rubini.
Selain itu, terdapat nama-nama seperti Sultan Syarif Muhammad Alqadri (Sultan Pontianak), Pangeran Agung, Pangeran Adipati, dokter, insinyur, guru, dan masih banyak kaum intelektual lain, termasuk sultan atau panembahan.
Atas jasanya itu, nama Rubini telah diabadikan di sejumlah tempat untuk mengenang jasa dan perjuangannya, seperti nama jalan di Kota Mempawah, Pontianak, dan Bandung, serta RSUD di Mempawah. Rubini juga menjadi nama taman di Mempawah.
Sementara itu, Menko Polhukam selaku Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Mahfud MD mengatakan, Raden Rubini Natawisastra telah menjalankan misi kemanusiaan sebagai dokter keliling pada saat kemerdekaan.
Editor: Nur Ichsan Yuniarto