Sederet Fakta Menarik Kota Singkawang, Raih Predikat Kota Paling Toleran

JAKARTA, iNews.id - Fakta menarik Kota Singkawang ini mungkin belum banyak yang mengetahui. Kota Singkawang salah satu kota di Provinsi Kalimantan Barat.
Kota yang terkenal dengan keberagaman dan toleransinya ini dipimpin oleh seorang perempuan keturunan Tionghoa bernama Tjhai Chui Mie.
Kota Singkawang berjarak 145 kilometer sebelah utara Kota Pontianak. Memiliki luas wilayah 504 kilometer persegi. Berdirinya Kota Singkawang tak terlepas dari orang-orang Tionghoa masa lalu.
Menurut keyakinan orang-orang Tionghoa dari suku Hakka, nama Singkawang berasal dari kata "San Kew Jong" yang artinya kota yang terletak di antara laut, muara, gunung dan sungai. Faktanya, Kota Singkawang memang berbatasan dengan Laut Natuna pada bagian barat dan dikelilingi oleh Gunung Roban, Pasi, Raya, Gunung Poteng dan Sakok.
Keberadaan orang Tionghoa membuat Kota Singkawang dikenal dengan sebutan seperti Kota Amoi, Kota Seribu Kelenteng, hingga Hongkong Van Borneo.
Keberagaman dan toleransi menjadi ciri khas yang tidak bisa dipisahkan dari Kota Singkawang. Kota ini terdiri dari beragam etnis dan kepercayaan. Namun demikian, masyarakatnya hidup rukun dan penuh toleransi. Penduduk mayoritas Kota Singkawang adalah Tionghoa, Dayak, dan Melayu, sehingga dikenal dengan singkatan Tidayu. Ketiga suku tersebut, bersama dengan etnis dan kepercayaan yang mereka anut, hidup berdampingan secara rukun dan damai.
Bukti toleransi di Singkawang berupa penghargaan Kota Paling Toleran di Indonesia tahun 2018 dari Setara Institute. Selain itu, Singkawang juga menjadi kota dengan kepala daerah perempuan Tionghoa pertama di Indonesia yang bernama Tjhai Chui Mie.
Tjhai Chui Mie menerima kembali penghargaan Singkawang sebagai Kota Tertoleran di tahun 2020. Selain itu, Singkawang menerima Anugerah Kebudayaan PWI pada puncak Peringatan Hari Pers Nasional pada tanggal 9 Februari 2021 lalu. Berbagai tradisi tahunan khas Tionghoa pun diselenggarakan, seperti Cap Go Meh, Imlek, dan Ceng Beng, bahkan Pawai Tatung.
Salah satu bukti toleransi yang ada di Kota Singkawang dapat dilihat dari tempat-tempat beribadah yang saling berdekatan. Di antaranya adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya dan Masjid Raya Singkawang.
Kedua tempat ibadah ini begitu bersejarah karena telah berusia lebih dari satu abad, dan menjadi saksi keharmonisan masyarakat Singkawang. Vihara Tri Dharma Bumi Raya atau yang dikenal dengan nama Pekong Tua konon telah berusia 200 tahun, sementara Masjid Raya Singkawang telah berdiri sejak tahun 1885 di Kota Amoy.
Kota Singkawang memiliki kerukunan antar-umat beragama yang sangat tinggi. Penduduknya mayoritas Melayu, Tionghoa, dan Dayak. Ketika perayaan Cap Go Meh, masyarakat yang menyaksikan pertunjukan tersebut pun tidak hanya masyarakat Tionghoa saja, akan tetapi dari berbagai suku dan agama lainnya juga turut menyaksikan. Begitu pula saat perayaan agama lain, seperti menjelang Lebaran, penduduk lain yang non muslim pun ikut memeriahkan acara. Akulturasi budaya di kota ini sangat kental dengan sikap saling menghormati satu sama lain yang tetap terjaga.
Kota Singkawang dulunya adalah sebuah desa, yang masuk ke dalam wilayah Kesultanan Sambas. Desa Singkawang menjadi ramai sejak para pedagang dan penambang emas dari Tionghoa singgah dan beristirahat ketika dalam perjalanan menuju Monterado.
Orang-orang Tionghoa kemudian menyebut daerah itu dengan istilah San Keuw Jong, karena daerahnya yang berbatasan langsung dengan Laut Natuna, serta memiliki sungai dan pegunungan. Desa Singkawang terus mengalami perkembangan pesat dari waktu ke waktu.
Pada tahun 1959, Desa Singkawang ditetapkan sebagai bagian dan ibu kota Kabupaten Sambas dengan status Kecamatan Singkawang. Kemudian pada tahun 1981, Kecamatan Singkawang berubah menjadi Kota Administratif Singkawang.
Tujuan perubahan menjadi kota administratif supaya ada peningkatan pelayanan pemerintahan. Kota Administratif Singkawang lantas diusulkan menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II pada tahun 1999. Namun usulan itu belum diterima oleh Pemerintah Pusat.
Masyarakat Singkawang pun tidak patah semangat. Mereka kembali mengusulkan pembentukan Kotamadya Tingkat II untuk Kota Singkawang. Baru kemudian pada tanggal 17 Oktober 2001, Singkawang resmi menjadi Kotamadya Tingkat II. Pembentukan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang.
Kota Singkawang mempunyai sejumlah destinasi wisata unggulan yang dapat dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Tempat wisata di Singkawang antara lain Pantai Pasir Panjang, Sinka Island Park, Sinka Zoo, Taman Bukit Bougenville, Taman Chidayu. Kemudian Taman Teratai Indah, Pasar Hong Kong, Vihara Tri Dharma Bumi Raya, Danau Biru, dan Masjid Raya Singkawang. Selain itu, pada perayaan Cap Go Meh atau penutupan perayaan Tahun Baru Imlek, tepatnya di hari ke-15 di Singkawang juga sangat meriah.
Kota Singkawang di Kalimantan Barat dikenal memiliki arsitektur khas oriental. Sejumlah rumah bergambar naga dan bangunan kelenteng, rumah ibadah warga keturunan Tionghoa, menunjuk tegas siapa pemiliknya. Ini tak heran karena sekitar 42 persen penduduknya merupakan warga etnis Cina atau Tionghoa.
Masyarakat Tionghoa, khususnya etnis Hakka, adalah penyebar kepercayaan konfusianisme di sana. Hal ini tergambar dari banyaknya kelenteng yang tersebar di Kota Singkawang. Tak heran jika Kota Singkawang juga dijuluki dengan Kota Seribu Kelenteng.
Salah satu dari deretan klenteng yang terletak di tengah kota ini adalah Vihara Tridharma Bumi Raya. Umur klenteng ini diperkirakan sekitar 200 tahun. Selain itu, ada pula pekong atau kelenteng Surga Neraka yang terletak sekitar 12 kilometer dari Singkawang. Pekong ini terletak di sebuah bukit yang membuat pengunjung bisa menikmati pemandangan kota yang dikelilingi laut dan hutan.
Kelenteng Surga Neraka mempunyai beberapa ruang. Terdapat ruangan yang dindingnya ditempeli rangkaian gambar yang memperlihatkan tahapan hidup hingga meninggal yang harus ditempuh manusia. Sejumlah gambar dewa maupun dewi terpajang di dinding. Selain itu terdapat pula ruang yang memperlihatkan perbuatan apa saja yang dilakukan manusia saat masih hidup di dunia. Terdapat juga bilik yang berfungsi untuk memberikan falsafah hidup.
Bagi suku Tionghoa, naga melambangkan kekuatan dan keberuntungan. Tidak heran apabila banyak patung naga di Kota Singkawang itu. Salah satunya adalah patung naga yang berada di tengah kota, tepatnya di persimpangan Jalan Kepol Mahmud dan Jalan Niaga.
Uniknya, patung naga dibuat menghadap cenderung ke atas, bukan ke samping seperti biasanya. Ini dikarenakan adanya kepercayaan bahwa toko yang berhadap-hadapan dengan naga akan bernasib sial sehingga tak ada pemilik toko yang mau jika patung naga dibuat menghadap tokonya.
Karena dikelilingi toko di segala penjuru, patung ini dibuat menghadap cenderung ke atas, setidaknya badannya yang melilit dari bawah ke atas. Jadi, semua akan mendapat keberuntungan.
Terletak di sekitar Pekong Toa, tepatnya di Gang Mawar, di samping Sungai Singkawang terdapat kawasan yang yang masih kental dengan suasana Cina. Banyak bangunan rumah Tionghoa yang berusia lebih dari seratus tahun, dilengkapi dengan kelenteng kecil bagi masyarakat yang menghuni blok tersebut.
Kota Singkawang merupakan salah satu kota di Kalimantan yang kerap dijadikan sebagai lokasi pembuatan film nasional. Deretan film-film nasional Indonesia sering menjadikan Singkawang sebagai lokasi syuting film.
Di antaranya 'Jejak Cinta' yang diperankan oleh Baim Wong dan Prisia Nasution, film 'Bulan Terbelah di Langit Amerika 2' yang dibintangi Acha Septriasa, Nino Fernandez, Abimana Aryasatya, dan Rianti Cartwright dan masih banyak lagi.
Editor: Reza Yunanto